A. SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum kemerdekaan, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam bagi Indonesia karena diusir Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai system yang masih tersisa hingga sekarang.
B. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Saat itu, Belanda menganut paham Merkantilis. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC, sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperalis lain seperti EIC (Inggris). Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1. Hak Mencetak Uang
2. Hak Mengangkat dan Memberhentikan Pegawai
3. Hak Menyatakan Perang dan Damai
4. Hak untuk Membuat Angkatan Bersenjata Sendiri
5. Hak untuk Membuat Perjanjian dengan Raja-Raja
Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh VOC saat itu adalah seperti
verplichte leverentie (kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli. Di samping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi aturan). Semua aturan tersebut umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga Samudera Hindia.
Selain itu juga diterapkan
Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang cuma 1.050 metrik ton.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Maka, VOC diambil alih oleh Republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik Bataaf dihadapkan pada suatu system keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental Stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan terhadap impor perak dari Belanda di masa VOC yang terhambat oleh blockade Inggris di Eropa.
C. Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang hampir dua abad diterapkan ole Belanda, dengan menerapkan
Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira system ini akan berhasil juga di Hindia Belanda.
Selain itu, dengan
Landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Namun, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sangat sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris di Hindia Belanda.
D. Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sistem ini merupakan pengganti system Landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga diterapkan. Namun, segi positifnya adalah, masyarakat mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup masyarakat, serta merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial dengan meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
E. Sistem Ekonomi Pintu terbuka ( Liberal )
Dibuatnya peraturan-peraturan agrarian yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun,dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh.
Sistem ini bukannya menngkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan dengan layak.
F. Pendudukan Jepang (1942-1945)
Diterapkannya sebuah kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi medukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan masyarakat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
G. Orde Lama ( Masa Pasca Kemerdekaan 1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk yang disebabkan oleh, inflasi yang sangat tinggi karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada saat itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah yang dikuasai sekutu pada tanggal 6 Maret 1946. Dan pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
H. Masa Demokrasi iberal (1950-1957)
Disebut masa liberal, karena dalam politik maupun system ekonoinya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan
Laissez Faire Laissez Passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bias bersaing dengan pengusaha non pribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya, system ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
I. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada system etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, polotik, dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Selain itu, ini juga merupakan salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam poilitik, ekonomi, maupun bidang lainnya.
J. Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam system ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha non pribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlan sistem ekonomi campuran dalam kerangka system ekonomi demokrasi pancasila.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan, yaitu kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut
Pelita ( Pembangunan Lima Tahun ). Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indicator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive cheeks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun pada kenyataannya, kebijakan-kebijakan tersebut juga telah melahirkan dampak negatif bagi Indonesia karena pembangunan yang dilakukan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
K. Orde reformasi
Masa reformasi diawali oleh pemerintahan presiden BJ. Habibie. Pada masa ini pemerintah belum melakukan maneuver-menuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas pilitik. Kemudian pada masa kepemimpinan Abduuahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Kedudukan presiden Abdurrahman digantikan oleh oleh presiden Megawati Soekarnoputri stelah keterlibatannya dalam skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya.
L. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan yang pertama presiden SBY adalah mengurangi subsidi BBM. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang kontroversial, sebab arti dari kebijakan yang dicetuskan tersebut adalah menaikkan harga BBM. Kebijakan tersebut dilator belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan tersebut juga melahirkan kebijakan controversial kedua, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala daerah.