Minggu, 13 Oktober 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI AKUNTANSI



Perkembangan profesi dunia akuntansi dapat digolongkan menjadi  4 bagian dalam setiap kurun waktu, yaitu antara lain :

1. Pra Revolusi Industri

Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan. Dulu pada sebuah manajemen perusahaan memiliki dua juru tulis yang bekerja secara terpisah dan independen. Pekerjaan mereka adalah untuk meyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban karyawan atas penyajian laporan keuangan. Hasil dari dua juru tilis itu akan dibandingkan dan dari hasil perbandingan tersebut sudah mengindikasikan bahwa terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan tersebut dilakukan 100%.

2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900

Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi. Inggris telah mengeluarkan undang – undang Perusahaan tahun 1882, dimana dalam peraturan tersebut diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksaan independen untuk perusahaan yang menjual saham.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin jelas dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncul kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.

3. Masa revolusi Tahun 1900 – 1930

Mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan.
Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan besarnya pajak.



4. Tahun 1930 – Sekarang

Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).

Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.

B. Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia

Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Kolonial

Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.

 2. Periode Sesudah Kemerdekaan

Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:

A. Periode I [sebelum tahun 1954]
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.

B. Periode II [tahun 1954 – 1973]
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.

C. Periode III [tahun 1973 – 1979]
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.

Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal.

Untuk lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik.

Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:

1) Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.

2) Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak.

3) Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.

Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.

D. Periode IV [tahun 1979 – 1983]

Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.

E. Periode V [tahun 1983 – 1989]

Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986.
Setelah melewati masa-masa suram, pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut. Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.

Dengan keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.

Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:

1) Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia

2) Memberikan masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen Keuangan dalam program pendidikan

3) Melaksanakan penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.

4) Mengusahakan agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya

5) Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1) Untuk melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik/akuntan negara untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.

2) Laporan keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.

3) Jangka waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari. (M. Sutojo, 1989: 10)

F. Periode VI [tahun 1990 – sekarang]

Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi.

Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:

1) Tumbuhnya pasar modal
2) Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.
3) Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4) Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian

Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:

1) Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2) Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3) Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4) Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.

Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:

1) Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2) Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3) Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.

Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.

1. Peluang profesi akuntansi sangat besar. Akuntan dapat bekerja disemua sector perekonomian, apalagi bagi mereka yang menguasai IFRS dengan baik.
2. Terbukanya kesempatan bagi akuntan untuk berprofesi sebagai Akuntan Publik
3. Pertumbuhan Akuntan Publik relative lambat.
4. Struktur usia Akuntan Publik sekarang yang lebih dari 50 tahun sebanyak 64%, sehingga kemungkinan terjadi penurunan Akuntan Publik secara signifikan dalam 5 atau 10 tahun ke depan.
5. Kebutuhan jasa Akuntan Publik semakin meningkat
6. Penerapan IFRS (International Financial Reporting Strandard dan ISA (International Strandard on Auditing) di Indonesia pada tahun 2011-2012, merupakan peluang dan tantangan bagi profesi Akuntan dan Akuntan Publik.

Jumat, 11 Januari 2013

Bappenas Akui Sulit Capai Target Kemiskinan



Pemerintah menargetkan kemisikinan dapat mengalami penurunan hingga 10,5 persen. Adapun tingkat kemiskinan saat ini, masih berada pada kisaran 11,96 persen.
Menteri PPN/Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan target kemiskinan 2013 dinilainya agak berat. Akan tetapi dia menuturkan, target kemiskinan tidak ada revisi.

"Target kemiskinan tidak ada revisi, justru itu. Jadi kan target kemiskinan pada 2012 sebesar 11,5 persen dan terakhir September kemarin mencapai 11,96 persen," kata Armida, di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (10/1/2013).

Menurutnya, pada 2013 nanti akan lebih berat untuk mencapai 10,5 persen. Padahal, penurunan kemiskinan per tahun mencapai sekira 0,6 persen sampai 0,8 persen. "Artinya harus ada ekstra effort yaitu keroyokan itu, karena dengan keroyokan itu ada impact-nya lebih tinggi," tukas dia.

Sebelumnya, Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri menargetkan, angka kemiskinan Indonesia di 2013 menurun sampai 11,66 persen. Target pencapaian tersebut diyakininya dapat tercapai, melihat pencapaian penurunan angka kemiskinan kemarin sebesar 11,96 persen.

Sumber : Okezone.com

INVESTASI MANUFAKTUR CAPAI Rp 72 TRILIUN



Realiasasi investasi 12 sektor industri manufaktur selama semester I/2012 mencapai Rp72,57 triliun, atau naik 56,94% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp46,24 triliun. Kepala Pusat Badan Pengkajian Kebijakkan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementrian Perindustrian (Kemenperin) Harris Munandar mengatakan, berdasarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) yang dikelola oleh Kemenperin, pertumbuhan investasi terjadi di penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Menurut dia, data menunjukkan nilai investasi PMA sebesar USD5,45 miliar, atau setara Rp51,77 triliun dengan kurs Rp9.500 per dolar Amerika Serikat (AS), sedangkan nilai investasi PMDN mencapai Rp20,80 triliun.  Sementara itu, pada periode sama 2011, realisasi investasi PMA sebesar USD3,25 miliar atau setara dengan Rp27,62 triliun dengan kurs Rp8.500, sedangkan PMDN mencapai Rp18,63 triliun. Harris menjelaskan, pertumbuhan investasi didorong oleh sejumlah faktor, seperti keunggulan Indonesia dengan pasar yang besar, sehingga menarik minat investasi.

Selain itu, iklim investasi di dalam negeri juga semakin membaik. “Pertama, dari sisi global. Saat ini  terjadi perseteruan politik antara Jepang dan China yag memicu bayaknya pabrik milik Jepang ditutup di China. Kalau kondisi penutupan berlangsung terus tanpa waktu yang jelas kapan ada waktu penyelesaian, tentu mereka harus memutuskan hengkang. Selain Thailand, alternative relokasi adalah Indonesia. Dari sisi pasar, Indonesia seperti China yang jadi incaran karena besarnya pasar.” Kata Harris di Jakarta kemarin.

Daya beli kelas menengah di Indonesia juga terus meningkat. Pemerintah, kata dia, melalui Kemenperin terus berupaya mendorong investasi di dalam negeri, baik PMA maupun PMDN. Adapun investasi yang didorong masuk adalah yang bernilai tambah, memiliki dampak besar, dan berteknologi tinggi. “Dengan iklim investasi, serta berbagai insentif investasi, seperti tax holiday, semakin memacu arus investasi,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan, masalah politik antara China dan Jepang akan membuat Jepang lebih melihat Indonesia sebagai negara yang loyal.
Investasi Jepang akan meningkat di Indonesia. Automotif dan elektronika Jepang di Indonesia lebih menguasai pasar ketimbang Korea Selatan. Untuk TPT (tekstil dan produk tekstil), Jepang buka Negara yang fokus irusi ini karena sebagian besar sudah di-take over pengusaha Indonesia.

Sekjen Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Harry  Warganegara mengatakan, kebijakkan pemerintah terkait hilirisasi industri berbasis sumber daya alam (SDA) mulai berdampak positif terhadap peningkatan investasi di dalam negeri.

Harry optimis pertumbuhan investasi akan terus berlangsung hingga tahun depan. Asalkan, kata dia, kebijakan pemerintah bisa mendukung investasi. “Hipmi berharap investasi di sector lain juga tumbuh, supaya Indonesia bisa mandiri. Masa HP dan televisi harus kita impor terus,”kata Harry.

Analisis :
Daya beli kelas menengah di Indonesia juga terus meningkat. Pemerintah, kata dia, melalui Kemenperin terus berupaya mendorong investasi di dalam negeri, baik PMA maupun PMDN. Adapun investasi yang didorong masuk adalah yang bernilai tambah, memiliki dampak besar, dan berteknologi tinggi. Realiasasi investasi 12 sektor industri manufaktur selama semester I/2012 mencapai Rp72,57 triliun, atau naik 56,94% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp46,24 triliun

Sumber : Koran Kompas

SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK “SKENARIO KENAIKAN HARGA TELAH DISIAPKAN”



Pemerintah sudah menyiapkan scenario kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi tahun 2013. Skenario ini akan diambil manakala tren konsumsi akan melampaui kuota 46 juta kiloliter, sementara variable terkait tak cukup memberikan kompensasi sehingga tekanan pada fiscal tak terhindarkan.
Menteri Keuangan Agus DW Martowardjojo dalam keterangan pers di Jakarta mengatakan, salah satu perhatian utama pemerintah tahun 2013 adalah focus mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi agar tak melampaui kouta yang  telah ditetapkan, yakni 46 juta kiloliter. Sebab, setiap lonjakan realisasi dari target yang direncanakan akan membahayaka kesinambungan fiscal.

Upaya konsumsi BBM bersubsidi tidak melampaui kuota 46 juta kiloliter adalah yang paling utama. Kalau kuota trennya jebol, pemerintah tidak serta-merta menaikkan harga BBM bersubsidi. Artinya, jika faktor-faktor  lain yang terkait bisa mengompensasi, jebolnya kuota masih bisa ditoleransi fiskal sehingga tidak harus sampai ada kenaikan harga. Faktor lain itu antara lain penerimaan Negara tinggi, harga minyak dunia rendah, dan lifting minyak tinggi.

Apabila pada kenyataannya, semua upaya kebijakan tidak bisa mengendalikan itu,pemerintah akan menyesuaikan harga BBM. Penyesuaian harga BBM dampaknya pasti pada inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan nilai rupiah. Namun, tetap prioritas adalah mengendalika BBM.

Realisasi subsidi energy tahun 2012 mencapai 151,5 persen. Dari alokasi Rp 202,4 triliun, realisasinya Rp 306,5 triliun. Subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 211,9 triliun dari pagu Rp 137,4 triliun. Sementara subsidi listrik mencapai Rp 94,6 triliun dari pagu Rp 65 triliun.
Wakil Direktur Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Komaidi Notonegoro menilai, scenario yang diajukan pemerintah terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sebatas normatif. Kuota BBM bersubsidi tahun 2013 sebesar Rp 46 juta kl merupakan kuota terbesar sampai saat ini.

Sumber : Koran Kompas, Selasa 8 Januari 2013